Pada abad ke-17, Sir Isaac Newton memunculkan teori partikel cahaya. Teori ini menganggap cahaya sebagai berkas partikel yang sangat ringan yang terpancar dengan kelajuan yang sangat tinggi. Pada saat itu teori ini dianggap mampu menjelaskan mengapa cahaya merambat lurus dan mampu menjelaskan peristiwa pemantulan cahaya. Untuk peristiwa pembiasan cahaya, teori ini beranggapan bahwa ada gaya interaksi antara partikel cahaya dan medium. Misalnya pada saat cahaya memasuki kaca, gaya interaksi antara partikel cahaya dan medium kaca mendekati garis normal. Newton meramalkan gaya interaksi ini akan membuat kecepatan cahaya bertambah ketika memasuki medium kaca.

Teori partikel ini memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama, hasil pengamatan menunjukkan bahwa dua berkas cahaya dapat saling berpotongan pada sudut berapa pun tanpa saling mempengaruhi satu dengan lainnya, baik dalam hal arah rambat maupun warnanya. Padahal jika benar cahaya merupakan berkas partikel, seharusnya terjadi tumbukan antara kedua berkas tersebut.

Sebagai alternative lain dari teori partikel, seorang ilmuwan Belanda Christian Huygens mengusulkan teori gelombang cahaya. Teori ini menyatakan bahwa cahaya merupakan gelombang yang bergerak menembus ruang sebagaimana riak air melintasi permukaan kolam. Huygens mengatakan bahwa peristiwa pemantulan dan pembiasan cahaya dapat juga dijelaskan dengan teori gelombang. Dalam hal ini, Huygens mengungkapkan bahwa perambatan gelombang apapun yang melalui ruang dapat digambarkan dengan suatu metode geometri. Metode ini dikenal sebagai prinsip Huygens.

Perdebatan mengenai hakikat cahaya berlangsung selama lebih dari satu abad. Perdebatan ini demikian sengitnya, sampai-sampai para fisikawan terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok yang satu mendukung teori partikel cahaya yang diusung oleh Newton, sedangkan kelompok yang lain menjadi pembela teori gelombang cahaya yang dipelopori oleh Huygens. Namun keadaan menjadi berbalik melalui percobaan yang dilakukan Thomas Young .




Leave a Reply.